Aisyah memiliki
seorang anak gadis yang sangat pintar bernama Sabila. Kini Sabila lulus
dari sebuah universitas terkemuka. Aisyah sungguh bangga kepadanya dan
selalu berharap Sabila segera pulang ke rumah. Aisyah sangat merindukan
Sabila.
Hari kedatangan Sabila tiba. Aisyah menunggunya di
depan pintu rumah dengan senyum tulus. Setelah melepas rindu dengan
memeluk Sabila, mereka duduk santai di depan rumah.
Aisyah yang beranjak tua, kagum dengan kecerdasan Sabila. Sabila
bercerita tentang masa kuliahnya yang menarik. Sebenarnya, Aisyah tidak
begitu memahami apa yang diceritakan Sabila.
"Jadi, apa gelar yang sekarang kaumiliki?" tanya Aisyah.
"Sarjana."
Aisyah mengangguk-angguk kemudian mengulangi pertanyaan yang sama.
Sabila menganggap ibunya tidak mendengar jawabannya. Lalu, dia
mengatakannya kembali dengan suara lebih keras, "Gelarku sarjana, Ibu!"
Aisyah kembali mengangguk-angguk. Sabila kembali bercerita dengan riang. Tak lama kemudian, sang ibu bertanya lagi.
"Jadi, apa gelar yang sekarang kaumiliki, Anakku?"
Sabila menatap ibunya. "Sarjana, Bu!"
"Ooh...," kata Aisyah membulatkan mulutnya.
Mereka lalu mengobrol kembali.
"Nah, Anakku, Ibu ingin tahu gelar apa yang kaumiliki sekarang?" tanya Aisyah.
Sabila mendelik ke arah ibunya dan hilang kesabaran, lalu menjawab
pertanyaan Aisyah sambil membentak, ’Ya ampun, Ibu, sarjana!!!"
Sabila marah dan merasa ibunya tidak mengerti apa yang dikatakannya.
"Apa, Nak?"
"Ibu...!!! Barangkali Ibu memang tidak mengerti apa yang aku katakan,
ya? Aku sudah menjawabnya berulang kali dan Ibu tetap bertanya. Apakah
Ibu ingin aku kembali mengatakannya? Sarjana! S-a-r-j-a-n-a," kata
Sabila dengan marah. Dia merasa obrolannya terus terpotong oleh
pertanyaan ibunya.
Aisyah menunduk, lalu beranjak dari duduk
dan meninggalkan Sabila. Tak berapa lama, Aisyah kembali dan menggenggam
sesuatu di tangannya. Dia lalu menyerahkan benda itu pada Sabila yang
masih marah.
"Bacalah, Anakku. Di dalamnya, Ibu menulis tentangmu semasa kecil," kata Aisyah lembut.
Sabila membacanya.
"Setiap hari, Sabila kecilku selalu bertanya tentang apa saja yang dia lihat. Aku bangga padanya.
Suatu kali, dia bertanya tentang suatu benda di depan rumah hingga
berkali-kali. Dia terus bertanya hal yang sama, tetapi aku tetap
menjawabnya dengan sabar. Bahkan ketika kuhitung dia bertanya lebih dari
30 kali tentang benda itu. Aku menjawab mengenai hal itu dengan penuh
kasih sayang dan semoga jawabanku yang akan membawanya menjadi manusia
yang penuh dengan ilmu.
Aku berharap, dia akan menjadi anak
yang pintar dan kelak jika aku tua, aku bisa bertanya padanya tentang
hal yang tidak aku ketahui. Ya, karena ketika dia besar, zaman kami
sudah berbeda dan saat itu akulah yang akan belajar pada anakku.
Setelah membaca buku itu, Sabila menatap Aisyah yang menunjukkan wajah sedih.
"Sungguh Anakku, aku tidak menyadari bahwa pertanyaanku akan membuatmu
marah, walau Ibu hanya menanyakan hal itu sebanyak 5 kali," kata Aisyah
sambil menitikkan air mata.
Seorang sahabat bertanya, Ya
Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan
persahabatanku, Nabi saw. menjawab, "Ibumu... ibumu... ibumu, kemudian
ayahmu, dan kemudian yang lebih dekat kepadamu, dan yang lebih dekat
kepadamu." - Muttafaq ’Alaih
0 komentar:
Posting Komentar